Selasa, Juli 10, 2007

DI SUATU PAGI

DI SUATU PAGI


Uaaah. Aku menguap panjang ketika lamat-lamat adzan shubuh masuk ke pendengaranku. Sambil tak lupa kupanjatkan rasa syukur ke Sang Pemberi Hidup, aku bersiap-siap mengambil air wudlu. Ya, aku harus bersyukur karena Allah begitu sayang padaku. Hidup dengan segala fasilitas serba cukup, malah beberapa temanku bilang bukan sekedar cukup tetapi berlimpah. Papa selalu memberiku hadiah-hadiah yang berlebihan jika aku mendapatkan nilai bagus di setiap semester yang ku tempuh di fakultas kedokteran sebuah universitas negeri tertua di negeri ini. Dan perlakuannya yang paling berlebihan adalah ketika aku dinyatakan menjadi dokter. Sebuah mobil model terbaru impianku menggantikan mobil yang setiap hari ku pakai sudah menantiku di depan rumah beberapa bulan yang lalu.

***
Sabtu pagi.
Kupersiapkan bahan-bahan yang harus ku bawa. Tak lupa kupilih baju yang akan menemani hariku, satu stel blaser biru laut lengkap dengan jilbab corak warna biru senada dengan baju, kukeluarkan dari lemari gantungku. Setelah sarapan, cepat ku sambar kunci mobil yang biasa tergeletak disamping pesawat telepon rumah. Tak lupa kuucapkan salam ke orang rumah, segera aku berlari menuju garasi. Ya aku sudah terlalu siang untuk menuju tempat praktekku.

***
Penelitianku di Dinas Kesehatan, tempatku mengabdi, mengenai virus H5N1 yang diduga sudah masuk di daerahku memang memaksaku untuk pulang lebih larut dan datang di laboratorium lebih awal dari biasanya. Tetapi Sabtu dan Minggu aku tidak mau diganggu. Aku hanya akan berada ditempat praktekku. Tempat yang dibangun Papa untuk menggunakan dan memanfaatkan ilmu yang aku miliki.

***
Ups, aku terjebak di lampu merah yang keempat. Padahal jam tangan seiko model terbaru yang melingkar di pergelangan tanganku, hadiah dari Mama seminggu yang lalu, tepat seperempat abad usiaku, sudah menunjukkan pukul 05.55 WIB. Artinya lima menit lagi Indah, asistenku di klinik akan memasang tanda buka di pintu kaca depan. Ya Allah, masih tiga kali lampu merah yang harus ku lewati sehingga aku bisa mencapai tempat praktekku, aku menggerutu tak menentu.

***
“Mbak, minta sedekah mbak”, memutus gerutu panjangku di dalam mobilku yang sejuk. Sambil mengambil receh lima ratusan yang selalu tersedia di kotak uang dalam mobil, ku buka kaca mobil sedikit untuk menjulurkan jari-jariku ke bocah perempuan dekil yang menempel tanpa malu di kaca mobilku yang pagi ini lebih mengkilap, karena aku tahu Parman, sopir Papa, mencucinya sehabis shubuh tadi.

***
“Makasih ya mbak, semoga lancar rezekinya”. Sambil menganggukkan kepala dan mengamininya dalam hati, kuikuti gerak si gadis pengemis tadi. Ternyata dia meminta sedekah pada bapak tua bersepeda yang membawa keranjang besar di belakangnya, berisi kerupuk. Ku amati rupiah yang dikeluarkan pak tua. Subhanallah, ternyata satu lebar ribuan. Ya, aku tidak salah lihat. Dua mataku masih diberi kesehatan untuk tidak menjadi plus atau minus dengan diktat-diktat kedokteran yang tebal. Dan adegan setelahnya, pak tua penjual kerupuk itu mengelus rambut si bocah dekil dengan rasa sayang seorang bapak pada anak perempuannya. Mengingatkanku pada rasa sayang dan cinta Papa padaku selama ini.

***
Perasaan malu langsung menyergapku. Entah malu pada siapa, aku sendiri bingung. Mungkin pada Allah. Mungkin pada bapak tua. Mungkin pada pengemis cilik. Mungkin pada pengendara lain yang sempat melihat uang recehanku. Bagaimana mungkin seorang laki-laki tua penjual kerupuk bisa dengan santai memberi pengemis cilik itu seribu rupiah, padahal aku tahu keranjang besar yang ada di sepedanya masih terisi penuh kerupuk, belum satupun terjual. Sementara aku, dr. Rita Hadiwijaya, pemilik klinik Annisa yang pasiennya dari kalangan berduit, hanya mengeluarkan receh lima ratusan.

***
Ku parkir mobilku di pinggir jalan sekenanya begitu traffic light berubah hijau. Ku tanggalkan jas putihku di jok mobil. Segera aku keluar dari mobil dan berlari menuju pengemis dekil tadi. Ku ikuti kemana dia pergi tanpa dia merasa ada orang yang menguntitnya. Ku usap tetesan keringat dengan tisu yang selalu tersedia ditasku. Aku sudah berada di sebuah perkampungan kumuh di belakang Stasiun Kota.

***
“Assaalamu’alaikum, Ningrum pulang, buk....Ini Ningrum bawa sarapan buat Ibuk”. Aku mencari pegangan. Rasanya lemas seluruh persendianku. Dari luar rumah bambu yang sudah compang camping, aku melihat seorang perempuan setengah baya terbaring di kasur lusuh tanpa sprei, menyambut salam putrinya sambil tersenyum melihat apa yang di bawa putrinya, dan melahapnya cepat seperti belum terisi makanan apapun dari semalam.

***
Sampai di klinik, ku balik tanda buka yang sudah terpampang di pintu, dan segera ku ajak Indah untuk menemaniku. Pertanyaan Indah tentang keterlambatanku dan sikap anehku pagi ini tak kuhiraukan. Aku akan menjelaskannya nanti di tempat Ningrum, bocah yang menyadarkanku tentang satu episode hidup yang lain yang berbeda, yang diperlihatkan Allah dihadapanku pagi ini.

***
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai).”

1 komentar:

dewi mengatakan...

Bravooooooooo...kerens pit. Yah jangan maksud hati doang laaaa, wujudkan keinginanmu tulis novel tu. Novel islami sekarang lagi laris manis lhuuuu..menyegarkan jugaa :D
brava ancora.....