Rabu, April 03, 2013

Manusia, Hidup dan Matinya

Manusia sering membicarakan tentang kehidupannya, bukan tentang kematiannya. Demikian rasanya apa yang diucapkan Pramoedya Ananta. Saya mengatakannya iya, karena saya sendiri mengalaminya. Ketika kita hidup, maka berlomba-lombalah mengejar dunia seakan kita akan hidup seribu tahun lagi. Dan itu semua dekat dengan materi, karena kesuksesan selalu diukur dengan standar minimal, memiliki pekerjaan tetap, rumah pribadi, kendaraan pribadi, network yang tidak sedikit pun tidak banyak, pasangan yang setara baik dari segi penghasilan maupun pendidikan kalau bisa malah lebih dan anak-anak yang meramaikan rumah pribadi. 

Ya, semua orang ingin memilikinya. Karena itu tidak sedikit yang berjuang keras untuk meraihnya. Jikalau kita memang bukan berasal dari keluarga kaya, lain cerita. Tetapi setelah semua ada, akan segera puas kah kita? Mungkin iya mungkin juga tidak. Cerita menjadi lain, ketika teman sudah mulai bersimpuh di depan Ka'bah. Hei, kemana kita selama ini? Sudah jauh kah Tuhan ketika dunia menyilaukanmu? Sebanding kah dunia yang kau kejar dengan apa yang akan hakiki kau dapati setelah kematianmu? 

Tuhan, sholat wajib saya sering diujung tanduk, sholat dhuha saya hanya terkerjakan dua rakaat, saya baru bisa ber zakat fitrah dan ber zakat profesi, berpuasa wajib dan belum merutinkan sholat malam, merutinkan infaq, sedekah dan puasa sunnah. Rukun yang kelima pun masih sebatas wacana. 

Tuhan, kalau surgaMu seluas langit dan bumi, surga kelas apa yang dapt kudiami nanti?