Rabu, September 19, 2007

Pada Dua Ramadhan

Dan hendaklah kamu bersyukur, sesungguhnya bersyukur akan menambah kenikmatan Allah untukmu (HR. ath-Thabrani)


Sidoarjo, Surabaya begitu panas siang itu.
Puasa baru masuk hari kedua. Aku sudah menulis catatan diotakku, hari ini aku harus ke Surabaya, karena menjelang magrib hari sebelumnya aku sudah berjanji pada teman yang mengelola radio persyarikatan untuk melangkah ke kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
Sebelum melangkah aku menanyakan nomor telepon kantor PWM ke, mbak Icha, salah satu Pimpinan Wilayah Nasyiatul ‘Aisyiyah Jatim. Ku tekan tombol-tombol angka pesawat telepon di rumah kakak, untuk menanyakan jam tutup kantor. Sang Front Office menjawab jam 16.00 WIB.
Sudah terset dalam otakku, aku harus berangkat jam 15.00 kurang dengan angkutan umum, sementara pulangnya, aku akan menunggu kakak iparku yang kebetulan bekerja di Surabaya. Jadi selain irit ongkos, juga lebih nyaman di kendaraan pribadi.

Aaaaaaaaaaaaaaaarh, ternyata perkiraanku meleset. Kakak iparku pulang lebih awal, karena ternyata hari itu hari Jumat. Tidak ada jalan lain, aku harus menggunakan angkutan umum pulang pergi. Keponakanku yang paling besar, SMP kelas 2, bersedia menemaniku, kebetulan dia sedang tidak menjalankan ibadah puasa, jadi it’s ok mo jalan agak jauh.

Jujur aku bingung dan agak takut, mungkin ini kali pertama, di Sidoarjo, Surabaya, aku mengenakan angkutan umum. Karena pas ada acara Nasyiah di Surabaya, kakak iparku yang lagi baek hati (hehehehehehe), bersedia menjemputku.
Mungkin aku ga setakut ini naek angkutan umum. Kalau seorang temen tidak pernah membaca stiker peringatan tentang kejahatan yang sering terjadi diangkutan umum di Surabaya. Mereka bisa melakukan tindakan senekat apapun. Walau aku belum pernah menemui kejadiannya, dan moga saja tidak pernah, aku sudah membayangkan supporter bola asal Jawa Timur yang terkenal dengan kenekatannya. Apalagi ini, mereka bener-bener butuh duit!!!

Ku baca bismillah, bahwa aku percaya Allah akan melindungi hambaNya.
Perjalanan pergi ke Kertomenanggal, daerah dimana PWM, PWA, PWPM, PWNA berkantor berjalan lancar. Hanya acara ngetem, di Terminal Bungurasih yang agak lama. Padahal jam terus berjalan. Aku dah memperkirakan tak keburu waktuku mencapai jam 16.00.
Benar, sesampainya disana, pintu kaca itu sudah tidak bisa ditarik ataupun didorong. Alias dikunci. Dan seperti orang Jawa pada umumnya, aku masih bergumam dalam hati, gak pa pa, setidaknya aku sudah pernah mencoba untuk ke sini (selain menanyakan ijin radio milik Persyarikatan, aku juga mau mengambil form beasiswa yang disediakan untuk pelajar se Jatim, PD NA Pacitan ingin ikut menyalurkannya).

Dengan langkah pelan tapi pasti, aku dan keponakan perempuanku berjalan kearah kendaraan umum melalui rutenya. Begitu mendapatkannya, kita berdua langsung duduk. Aku lebih memilih waspada. Ada tiga anak laki-laki (keliatan kalau mereka masih sekolah dari mukanya yang masih imut) dan satu orang perempuan, ditambah aku dan keponakanku. Tiga anak laki-laki hanya ku pandang sekilas. Ah mereka tidak terlalu mencurigakan. Si perempuan juga tidak mencurigakan. Hanya dandanannya yang aneh.

Sepertinya dia penari Ngremo untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Bukan maksudku untuk merendahkannya. Tetapi secara tampilan itu lah aku bisa menarik kesimpulan sementara. Kalangan menengah keatas bisa saja ‘nanggap’ dia, karena bosan dengan tontonan penyanyi kafe yang cantik, seksi dan yang paling ga enak, bayarnya mahal. Sementara, ketika dengan perempuan penari Ngremo itu, rupiah yang bakal dia keluarkan dari kantong ga banyak, tapi cukup bisa menghilangkan stress yang menggelayut dipikirannya. Mungkin.

Bajunya sama sekali tidak matching. Blouse garis-garis hijau. Selendang berwarna orange. Mengenakan stagen hitam. Celana sejenis lagging berwarna ungu. Ada wadah uang terlilit dipinggangnya. Singapore Airline tulisannya. Keren juga pikirku, dia sudah pernah menggunakan maskapai asing itu. Ada sejenis radio tape dia bawa. Paling-paling berisi musik untuk memperlancar gerakannya. Dandanan wajahnya lumayan amburadul. Dia mengoleskan eyeshadow yang sama sekali ga sewarna, campur-campur, persis badut dipertunjukan sirkus. Asli aku tidak menambah dan menguranginya. Aku heran saja, kenapa dia begitu PeDenya?

Perempuan itu terkantuk-kantuk. Menambah lucu mukanya. Beberapa kali dia menguap. Membuat giginya yang ompong sering terlihat.

Oh Tuhan, andai saja aku ada di posisi dia, sanggupkah aku menjalaninya?

Jumat, September 07, 2007

Jilbab saya....

Jilbab saya hanya menutupi kepala saya, bukan otak saya
(Hayrunnisa Ozyort, Istri Abdullah Gul, Turki (Jawa Pos, Selasa, 28 Agustus 2007))


Hayrunnisa benar. Tidak ada hubungannya antara perempuan pemakai jilbab dengan rendahnya ilmu pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya.


Tahun 1970 an bisa saya pastikan siapa yang pake jilbab, saya kenal (Muh. Mirdazy, PWM Jatim).

Mas Mirdaz benar. Di era 70an perempuan yang mengaku beragama Islam memang masih jarang mengenakan jilbab.
Sementara sekarang, Setiap kita menengok, jilbab dengan warna standar maupun bervariasi mudah kita temui.
Ada yang menyebutnya kerudung. Ada yang menyebutnya jilbab panjang. Jilbab gaul. Karena perbedaan penafsiran.

Jilbab identik dengan pengecualian.
Kenapa Hayrunnisa mengeluarkan statement seperti itu tentu ada alasannya. Kita tahu Turki negara sekuler, tetapi Indonesia?
Ada seorang teman berazzam akan memakai jilbab setelah mendapat pekerjaan. Ya kalau setelah mendapat pekerjaan, masih bisa melihat indahnya matahari pagi, kalau enggak? (takuuuuuuuuuuuuuuuuuuut, Ya Allah semoga aku tidak termasuk didalamnya)
Dulu memang (mungkin di jaman Mas Mirdaz sampai dengan akhir 99) siapa yang memakai jilbab jangan harap ga deg-degan kalau melamar pekerjaan, di perusahaan swasta tentunya.

Karena mereka selalu mensyaratkan penampilan menarik (sampai sekarang masih ada beberapa). Yang menjadi pertanyaan, menarik menurut siapa? Apakah jilbab sedemikian menghalangi seseorang untuk mengeksplor kemampuan yang dimilikinya?
Jawabannya sudah jelas. Tidak. Tidak sama sekali. Ketika jilbab menjadi penghalang, berarti bahasa AlQuran dinafikkan. Nauzubillah.